Terpilihnya Rodrigo Duterte sebagai Presiden Filipina, 9 Mei lalu, beliau menegaskan niatnya untuk kembali mengaktifkan hukuman mati yang sempat ditiadakan negaranya tersebut. Namun sejumlah pihak melarang keras atas niat tersebut termasuk pihak Gereja Katolik Roma.
Sebagai negara mayoritas beragama Katolik, hal tersebut adalah suatu kesalahan besar. Pasalnya sekitar 80 persen penduduk Filipina adalah beragama Katolik. Dan, menurut Lito Jopson sebagai kepala Kantor Komunikasi Keuskupan Filipina, “Sebagai orang beriman, kami tidak mengikut ke hukuman mati karena kita tidak berhak menghakimi siapa yang akan hidup dan siapa yang akan mati,” ucapnya seperti dilansir dari kantor berita AFP, selasa lalu.
Sebelumnya ditahun 2006, Filipina telah menghapus hukuman mati dibawah kepresidenan Gloria Arroyo. Menurut Duterte, masyarakat Filipina saat ini tidak lagi takut akan hukum dan dia akan mengubah hal itu. Duterte juga mengatakan, dirinya akan meminta Kongres untuk memberlakukan kembali hukuman mati untuk kasus-kasus seperti peredaran, pemerkosaan, permbunuhan, perampokan dan penculikan untuk mendapat tebusan dan lainnya.
Rencana Duterte juga ditentang oleh Komisi Hak Asasi Manusia badan pemerintahan independen yang tidak bisa dihapuskan olehnya dan yang anggota-anggotanya saat ini tak bisa diganti Duterte. “Kami akan melakukan semampu kami untuk melobi melawan penerapan kembali hukuman mati,” tegas Banuar Falcon, kepala divisi internasional Komisi Ham tersebut.
Menurut Uskup Santos, mengatakan Duterte seharusnya tidak menghidupkan kembali hukuman mati, tapi ia harus memulai reformasi penjara dan meninjau sistem peradilan negara ini. Uskup Agung Lipa, Mgr Ramon Arguelles, mengatakan ia akan merelakan dirinya dieksekusi saat pemerintah akan melakukan eksekusi. Lito Jopson, juga menambahkan, kemenangan telak Duterte sebagai Presiden Filipina tidak mengubah sikap para Uskup soal hukuman mati ini.